Fakta Penyiksaan Jenderal Korban G30S PKI 1965

Share this:

Fakta Penyiksaan Jenderal Korban G30S PKI 1965 – 55 tahun lalu bertepatan pada 5 Oktober 1965 ialah hari permakaman 7 Opsir Tentara Nasional Indonesia(TNI) Angkatan Darat yang jadi korban dari insiden G30S.

Fakta Penyiksaan Jenderal Korban G30S PKI 1965

thetorturereport – Penguburan dari ketujuh korban itu terdiri atas 6 jenderal dan satu opsir awal Tentara Nasional Indonesia(TNI) Angkatan darat(AD). Ialah, Letnan Jenderal Ahmad Yani, Utama Jenderal Raden Soeprapto, Utama Jenderal Abang Tirtodarmo Haryono,

Dilansir dari nasional.tempo, Utama Lettu Pierre Andreas Tendean, Brigadir Jenderal Sutoyo Siswodiharjo, Brigadir Jenderal Donald Isaac Panjaitan, serta Jenderal Siswondo Parman. Mereka dibunuh oleh G30S PKI setelah itu dimasukkan ke dalam Sumber Berumur Lubang Buaya di Jakarta Timur, persisnya di area Pondok Besar.

Temuan posisi jenazah para pejabat Angkatan darat(AD) itu berasal dari seseorang badan kepolisian bernaama Sukitman yang pada 1 oktober 1965 luang dibawa menuntut ke Lubang Buaya tetapi sukses membebaskan diri. Jenazah para korban G30S itu ditemui di suatu sumber berumur di area hutan karet yang mempunyai daya kurang lebih 12 meter oleh dasar Resimen Para Badan Aba- aba Angkatan Bumi( RPKAD).

Totalitas jenazah ditemui pada 3 Oktober 1965 serta pada bertepatan pada 4 penaikan jenazah terkini bisa dilakuakan segenap dari sumber berumur Lubang Buaya. Pemangsa itu bersamaan dengan keramaian HUT Tentara Nasional Indonesia(TNI) yang ke- 20. Ketujuh korban yang dianugerahi titel satria revolusi ini dimakamkan di Halaman Kuburan Pahlawan Kalibata. Penguburan dihadiri ribuan orang bagus dari golongan awam ataupun tentara.

Baca juga : Unit 731, Penyiksaan Biologis Jepang Selama Perang Dunia Kedua

1. Sejarah Singkat G30S

G30S ialah aksi yang disinyalir mempunyai tujuan buat menggelindingkan pemerintahan Kepala negara Soekarno serta mengganti Indonesia jadi negeri komunis. G30S dituding dipandu oleh DN Aidit yang dikala itu ialah pimpinan dari Partai Komunis Indonesia( PKI). Pada 1 Oktober 1965 dini hari, Letkol Profit yang ialah badan Tjakrabirawa yang mengetuai gerombolan yang dikira patuh pada PKI.

Aksi ini mengincar opsir besar Tentara Nasional Indonesia(TNI) Angkatan darat(AD) Indonesia sebab mereka dikira jadi pihak yang membatasi jalur PKI. 3 dari 6 orang yang jadi sasaran langsung dibunuh di kediamannya, sebaliknya yang lain diculik serta dibawa mengarah Lubang Buaya. AH Nasution yang ialah sasaran penting dari pembedahan ini sukses membebaskan diri, tetapi putrinya Ade Irma berpulang tertembak.

Hingga dikala ini, terdapat banyak narasi serta tafisaran dari kejadian G30S. Terdapat banyak dakwaan dampingi golongan dikala pancaroba kewenangan dari Kepala negara Soekarno yang jatuh ke tangan Mayjen Soeharto. 3 dari 6 orang yang jadi sasaran langsung dibunuh di kediamannya, sebaliknya yang lain diculik serta dibawa mengarah Lubang Buaya.

AH Nasution yang ialah sasaran penting dari pembedahan ini sukses membebaskan diri, tetapi putrinya Ade Irma berpulang tertembak. Hingga dikala ini, terdapat banyak narasi serta tafisaran dari kejadian G30S. Terdapat banyak dakwaan dampingi golongan dikala pancaroba kewenangan dari Kepala negara Soekarno yang jatuh ke tangan Mayjen Soeharto.

2. Benarkah Ada Penyiksaan Seperti Yang Di Film

Selama berpuluh-puluh tahun hingga 1 Oktober, publik telah menonton film tentang pemberontakan G30S pada tahun 1965. Film yang disutradarai oleh Arifin C. Noer ini diproduksi pada tahun 1984 dan menjadi salah satu film wajib.

Salah satu adegan dalam film tersebut adalah reproduksi penggambaran brutal para jenderal yang berkumpul di Lubang Buaya oleh pemberontak PKI. Selama lebih dari sepuluh menit, para penonton melihat adegan-adegan yang menjerit, membakar, dan menjarah para pahlawan revolusioner yang sekarat. Tanpa sensor, siswa sekolah dasar pun harus menyaksikan adegan tersebut. Tapi benarkah gambaran film ini?

Setelah menemukan jenazah jenderal yang diculik, Soeharto selaku Kostrad meminta agar jenazah tersebut dipisahkan. Tim forensik saat itu merupakan gabungan dari tim medis ABRI yang terdiri dari Rumah Sakit Umum Angkatan Darat (RSPAD) Gatotes Poto dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI).

Anggotanya termasuk Profesor Arif Budianto, yang merupakan dokter termuda di tim saat itu. Profesor Soetomo Tjokronegoro (FKUI); Brigjen Roebiono Kertapati (Direktur dan Ahli Patologi RSPAD); Dr. Frans Pattiasina (Ahli Patologi dari RSPAD); dan Dr. Ferry Liauw Yan Siang (FKUI).

Saat itu, “Armed Forces Daily” memaparkan: “Penganiayaan biadab itu di luar batas umat manusia.” Salah satu surat kabar nasional saat itu, Berita Yudha menulis di tubuh sang jenderal, “di Under the torture before shoted , seluruh tubuh dipenuhi bekas luka “, istilah itu ditulis pada tahun 2002.

Profesor Arif Budianto memaparkan Tempo dengan fakta berbeda. Menurut Arif, hampir semua jenazah para jenderal ditemukan menunjukkan tanda-tanda tembak-menembak dari jarak dekat. Namun, menurut dokter, penyiksaan dengan cara mengorek mata tidak ada. Mereka percaya bahwa 100% kondisi mata korban disebabkan oleh pembusukan. “Rongga mata korban bahkan tidak menunjukkan sedikitpun jejak.”

Kesaksian ini sama dengan laporan visum et repertum yang diperoleh Tempo pada 2002. Salinan asli dokumen tersebut berasal dari arsip persidangan Pengadilan Demiliterisasi Angkatan Udara dari tahun 1966 hingga 1967 oleh Perwira Intelijen Angkatan Udara Heru Atmodjo. .

Kesaksian lain, fotografer TVRI, Hendro Subroto, merekam pemindahan jenazah sejauh 3 meter. Satu-satunya reporter TV di lokasi ini pada saat itu tidak melihat jejak penyiksaan. “Menurut saya, mereka (jenderal) hanya luka tembak, bukan dipukul atau disayat. Seperti saya katakan, orang meninggal akibat penyiksaan dan penembakan, sehingga kondisi tubuh berbeda,” kata Hendro kepada Tempo pada 2002.

3. Fakta Penyiksaan Jenderal

Perihal itu dipaparkan oleh seseorang ahli sejarah Universitas Gadjah Mada( UGM) Yogyakarta Sri Margana. Di mana, Sri memperkirakan Film G30S atau PKI cacat kenyataan. Film G30S PKI ialah narasi dari insiden berdarah malam 30 September 1965 ataupun yang diketahui dengan G30S. Cerita para satria revolusi dibantai oleh segerombol pemberontak negeri kala itu.

Dalam filmnya, nyatanya ada bagian yang direkayasa. Salah satunya terpaut dengan bagian penyiksaan para jenderal saat sebelum dimasukan di dalam Lubang Buaya. Perihal itu dikira tidak betul serta cuma rekayasa yang terbuat oleh sutradara Arifin C Noer supaya lebih menggemparkan.

” Film ini teruji cacat kenyataan yang telah diakui oleh sutradaranya sendiri. ” Misalnya pertanyaan penyiksaan para jenderal saat sebelum dimasukan di Lubang Buaya itu teruji dari arsip- arsip visum tidak terdapat, cuma pendramaan,” ucapnya dalam penjelasan tercatat Humas UGM, Rabu( 30 atau 9 atau 2020). Baginya, menghasilkan insiden suram yang terjalin pada 1965 selaku pelajaran asal usul dikira bagus.

Alhasil warga dapat menjadikannya selaku rekomendasi supaya kejadian itu tidak kembali terulang. Cuma saja, beliau memohon janganlah hingga propaganda yang dicoba dikala ini malah bisa memberikan marah periode lalu pada keturunan berikutnya. Alasannya, bentrokan dikala itu sesungguhnya terjalin dampak dari terdapatnya gesekan antar golongan politik.

” Yang seram itu akan diwariskan pada seluruhnya yang tidak berhubungan dengan permasalahan itu. ” Jadi janganlah wariskan dendam,” ucapnya. Walaupun film itu tidak obyektif, tetapi Sri memperhitungkan warga dikala ini telah pintar serta dapat menyeleksi mana yang betul serta salah. Terlebih lagi, telah banyak kenyataan terkini terpaut insiden yang terjalin pada 30 September 1965 itu.

” Warga dikala ini telah pintar. Telah banyak tersebar fakta- fakta terkini terpaut insiden G30S atau PKI alhasil orang dapat membuat evaluasi mana yang betul serta tidak di film itu,” ucapnya. Sedangkan terpaut dengan tindakan penguasa yang tidak mencegah ataupun mengharuskan warga menyaksikan film itu, tutur Sri, juga ditaksir sudah tepat.

Terlebih lagi, film itu dikira sedang polemik serta tidak melukiskan kenyataan dengan cara utuh pada era itu. ” Jika hingga diharuskan ataupun dilarang nonton itu tidak betul,” ucapnya. Film G30S PKI menceritakan insiden kudeta sekeliling 30 September 1965 yang dicoba oleh Kolonel Untung, Panglima Batalyon Cakrabirawa.

Film G30S PKI dikisahkan jadi 2 bagian. Awal, G30S PKI berlatar balik insiden, konsep kudeta, dan penculikan para jenderal. Dalam insiden ini, 7 jenderal terbunuh, salah satunya merupakan Brigadir Jenderal Donald Isaac Pandjaitan. 30 September 1965, segerombol angkatan mengepung suatu rumah di Jalur Hasanuddin 53, Kebayoran Terkini, Jakarta Selatan.

Mereka bawa senjata keselarasan jauh pada blokade malam itu. Si pemilik rumah, seseorang opsir Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat yang dikala itu lagi terletak di suatu kamar di lantai 2 nampak tidak panik. Dengan menggunakan sebentuk tentara komplit, Brigadir Jenderal Donald Isaac Pandjaitan becermin ke suatu kaca di lemari besar.

Sebagian kali beliau merapikan seragamnya supaya tidak nampak kusut. Angkatan telah mulai masuk serta memahami lantai satu rumah. Tembakan juga dilepaskan. Sebagian perabotan rumah jadi target tembakan. Istri serta anak DI Pandjaitan yang pula terletak di lantai 2 terus menjadi kekhawatiran. Seseorang asisten rumah tangga memberi tahu kalau 2 keponakan DI Pandjaitan terletak di lantai satu, ialah Albert serta Viktor terserang tembakan.

Tetapi DI Pandjaitan senantiasa hening. Pandjaitan setelah itu turun ke lantai 1 yang dipahami oleh para angkatan dengan tahap lama- lama. Gerombolan angkatan yang mengepung rumah Pandjaitan diucap berawal dari dasar Cakrabirawa, gerombolan spesial ajudan Kepala negara Soekarno. Dikala telah terletak di hadapan para angkatan, Pandjaitan dimohon buat lekas naik ke truk yang hendak mengantarkannya ke Kastel.

Baca juga : Kisah Tragis Tentang Intelijen Terkenal di Dunia

Mereka berkata kalau Jenderal berbintang satu itu dipanggil oleh Kepala negara Soekarno sebab situasi gawat. Saat sebelum itu Pandjaitan melapangkan diri buat berharap yang menimbulkan para angkatan terus menjadi marah. Seseorang angkatan melayangkan popor sentaja, tetapi oleh Pandjaitan disangkal saat sebelum menghantam mukanya. Angkatan yang lain marah. Asisten IV Menteri atau Komandan Angkatan Darat itu ditembak.

DI Pandjaitan juga berpulang. Jenazah Pandjaitan setelah itu dimasukkan dalam truk serta dibawa berangkat. Darah dari laki- laki kelahiran Balige, Sumatera Utara itu berceceran di teras rumah. Penembakan itu disaksikan oleh gadis sulungnya, Catherine. Sehabis kawanan angkatan berangkat, beliau menghadiri tempat bapaknya ditembak.

Catherine menggenggam darah bapaknya dengan penuh iba serta mengusapkannya ke wajah. Seperti itu salah satu bagian dalam film pemberantasan Pengkhiatan G30S PKI. Bagian kedua film menceritakan mengenai pemberantasan pemberontakan.