BUSH DAN PROBLEM GLOBAL HAM
Share this:
BUSH DAN PROBLEM GLOBAL HAM – Presiden Alaihi Salam George Walker Bush akan segera berkunjung ke Indonesia. Seperti di poly negara, planning kunjungan itu memicu protes. Apakah ada misi rahasia di pulang kunjungan tadi? Masalahnya bukan hanya keamanan teknis yang berlebihan, namun jua kasus fundamental. Dunia, termasuk publik Amerika, terus memperhatikan implikasi kebijakan luar negeri pemerintahan Bush. Tekanan internasional bisa meningkat pada merampungkan aneka macam masalah internasional dimana Amerika Serikat ditinjau menjadi persoalan solver dan masalah maker sebagai pihak yg menentukan.
BUSH DAN PROBLEM GLOBAL HAM
Melawan terorisme
thetorturereport – Seperti yang diingat, kampanye kontra-terorisme dunia yg dipimpin AS setelah 9/11 menyebabkan banyak sekali pelanggaran politik, keamanan, & hak asasi insan (HAM) saat ini. Ini membangkitkan ingatan kolektif tentang sejarah dunia, yg memberitahuakn bagaimana kebijakan negara-negara besar seringkali menimbulkan perkara. Pemerintahan Bush mengabaikan oposisi dunia terhadap kebijakan AS pada Afghanistan pada tahun 2002. Meskipun PBB menyatakan invasi militer Alaihi Salam ke Irak ilegal pada tahun 2003, pemerintahan Bush terus menempatkan pasukan AS pada wilayah Irak. Bahkan, jatuhnya korban di pihak Alaihi Salam memicu kemarahan publik, termasuk pasukan AS. Pada tahun 2005, demokrasi Amerika dikritik di seluruh dunia saat pemerintahan Bush menolak proses demokrasi Palestina yang membentuk Hamas menjadi pemenang pada pemilu demokratis.
Beberapa penangkapan dan penahanan ilegal & sewenang-wenang terus berlanjut pada banyak negara, seperti Indonesia. Memang, Bush & para pendukungnya sudah mengabaikan penyelidikan PBB yang menyerukan penutupan penjara militer di Teluk Guantanamo, loka para tersangka teror ditahan tanpa proses aturan.
Indonesia jua ikut serta pada penangkapan tersangka teror ala Amerika. Bahkan, atas nama melawan terorisme, badan intel ingin mengambil wewenang forum penegak hukum:
menangkap, menunda, menginterogasi, menyadap, membuka surat, mencekal, sampai membekukan rekening seorang.
Baca Juga : CIA Menyesatkan Publik, Bush Menggunakan Penyiksaan
Melawan yurisdiksi ICC
Dalam kunjungan Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice sebelumnya, berkembang ihwal adanya misi misteri pada kembali kunjungannya, yakni meminta Indonesia menandatangani kesepakatan bilateral dengan Alaihi Salam lewat apa yg disebut non-surrender agreement (NSA).
NSA merupakan komitmen timbal balik dua negara untuk menolak menyerahkan tiap warga negara AS (personel militer, diplomat) yang terlibat kejahatan internasional kepada International Criminal Court (ICC). Sebagai ganti, seluruh warga AS harus diserahkan kepada pemerintah AS. NSA ini merupakan upaya AS menyalahgunakan Pasal 98 ICC. Pasal 98 Mahkamah Pidana Internasional menyatakan bahwa suatu negara dapat menggunakan perjanjian non-alienasi dalam kondisi tertentu. Pasal 98 juga memberikan kekuasaan dan prioritas kepada “negara pengirim” untuk melakukan penyelidikan, penuntutan dan pengadilan atas pelanggaran hak asasi manusia. Prinsip ini dikenal sebagai prinsip ICC yang saling melengkapi dengan hukum nasional. Pasal 98 menolak kemungkinan impunitas, termasuk melalui pemberian kekebalan.
Perjanjian ini telah dikritik oleh para pembela hak asasi manusia di seluruh dunia, termasuk Uni Eropa. Amerika Serikat sendiri pada awalnya merupakan salah satu penandatangan International Criminal Court yaitu pada masa Clinton. Akan sedikit aneh jika AS meminta persetujuan Indonesia, karena keduanya saat ini tidak memiliki negara bagian (partai) ICC yang berpartisipasi. Jika ini benar dan Indonesia menerimanya, ini adalah kabar buruk bagi penegakan hak asasi manusia.
Sebuah jaringan global organisasi hak asasi manusia, Koalisi Pengadilan Kriminal Internasional, menemukan bahwa 54 negara menolak (2005). Negara-negara ini berisiko kehilangan bantuan militer AS di bawah Undang-Undang Perlindungan Keamanan Amerika tahun 2002 (ASPA). Kemudian ada 18 negara peserta ICC yang akan kalah dalam program International Military Training (IMET) dan Foreign Military Financing (FMF).
Bagaimana sikap pemerintah Indonesia jika Bush mengajukan proposal ke NSA? Seperti diketahui, Indonesia menikmati bantuan AS untuk mendapatkan kembali bantuan militer AS dari IMET dan FMF dengan total lebih dari US$163 juta pada TA 2007.
Agenda Rencana Aksi Hak Asasi Manusia Indonesia 2004-2009 yang diratifikasi Mahkamah Pidana Internasional pada 2008 terancam runtuh jika diadopsi. Meskipun garis ini didasarkan pada norma konstitusi dan hukum positif; Amandemen UUD 1945, UU HAM No 39 Tahun 1999,